Selasa, 27 Desember 2011

salam perkenalan

Bismillahirrahmanirrahim......

halo teman-teman...... hari ini  hari  yang istimewa bagiku, bukannya aku ulang tahun,tapi ini kali pertama aku bisa membuat blog pribadi, yang sudah selama 2 tahun ini kuimpikan. Ternyata mudah banget membuatnya, nggak sampai 5 menit, wah...wah...hebatkan? Rasa istimewaku ini  tak lepas dari bantuan teman-teman bloger dunia maya ini, maka secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada personal blog ingat Eros .com, yang sudah membantu saya membuat blog ini, dengan sedikit membaca panduan yang ada didalamnya , saya langsung  dapat menciptakan  blog ini, terimakasih . Akhir kata semoga bermanfaat.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TUGAS KULIAH : RESUME  TEORI ORGANISASI



TEORI KEAGENAN (AGENCY THEORY)


Analisis Teori Keagenan (The Agency Theory)  dikembangkan tahun 1970an terutama  tulisan Jensen dan Meckling (1976).
Coase dan Biaya Transaksi
Ekonom biasanya lebih tertarik melihat sistem ekonomi secara makro. Perubahan  cara pandang Baru bergeser setelah tahun 1937 Coase mempertanyakan asumsi-asumsi ekonomi mengenai "The system 'work it-self' . Coase berkata: "The economic theory has suffered in the past from a failure to state clearly its assumptions. Economist in building up a theory have often omitted to examine the foundations on which it was erected."
Kemana arah kritikan Coase tersebut? Coase mengatakan (sekaligus mengkritik pandangan Salter — ekonom pada era itu) bahwa penjelasan mengenai mekanisme harga yang serba otomatis tersebut tidak berlaku di dalam perusahaan (= firm) . Coase melihat ada dua dunia, yaitu dunia di luar perusahaan dimana mekanisme transfer barang dalam kehidupan masyarakat ditentukan  secara otomatis oleh penawaran dan permintaan di pasar dan (2) dunia di dalam perusahaan dimana transfer barang dilakukan melalui koordinasi produksi.
Coase berpendapat ada cost yang terkait dengan penggunaan mekanisme pasar. Coase berkata "The most obvious cost of 'organizing' production through the price mechanism is that of discovering what the relevant price are." Kajian Coase ini kemudian melahirkan teori Transaction cost economic'. Dengan memakai organisasi sebagian besar biaya transaksi dengan mekanisme pasar tersebut bisa dihilangkan (dihemat).
Biaya Keagnenan. Ada beberapa hal menarik dan peinbahasan mengenai tulisan Coase tersebut. Pertama, lingkup pembahasan pada level perusahaan (orgamsasi) semakin mendapat perhatian. Kedua,  pengelolaan distribusi barang dan jasa di dalam masyarakat dengan memakai mekanisme organisasi juga ada biayanya. Coase mengakui bahwa perusahaan tidak lain adalah kumpulan kontrak (perikatan) yang di dalamnya berisi hak master (tuan) untuk memerintah pelayan (buruh atau servant) untuk kapan, dimana, dan berapa banyak bekerja. Dalam konteks ini tidaklah terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa biaya pengawasan master untuk memastikan pelayannya bekerja sesuai kontrak juga merupakan biaya yang harus ditanggung jika memakai mekanisme perusahaan. Dari sini kemudian lahir konsep agency cost. Agency costs juga merupakan salah sate bentuk transaction costs.
Berle dan Means: Masalah Tata kelola (Governance)
Dan uraian sebelumnya bisa juga disimpulkan bahwa biaya keagenan (agency costs) akan rendah (atau bahkan tidak ada) manakala master tidak menggunakan buruh sama sekali untuk mengelola usahanya. Master bisa secara langsung menetapkan sendiri jumlah upaya yang akan dia curahkan untuk memajukan usaha miliknya. Dengan tidak adanya buruh master tidak perlu mengeluaria biaya untuk memonitor. Satu-satunya biaya keagenan yang mungkin muncul dalam situasi ini adalah jika master memaksakan diri mengelola usahanya padahal dia tidak memiliki kemampuan.
Pemisahan antara kepemilikan (ownership) dari piha manajemen yang betul-betul mengendalikan (control) perusahaan dalam arti yang memiliki kekuasaan sehari-hari untuk berinvestasi dan menjalankan operasi perusahaan - seperti itu tentu akan menimbulkan kompleksitas tata kelola dan hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam.
Berle dan Means (1932) tergolong sebagai penulis pertama yang-memberi perhatian atas masalah pemisahan antara pemilik dengan manajemen yang mengelola perusahaan sehari-hari (masalah the separation of ownership and control) khususnya di perusahaan dengan jumlah pemilik yang tersebar luas. Berle dan Means (1932) dalam tulisannya, The Modern Corporation and Private Property', mengajukan tesis "hegemon  manajerial", yaitu bahwa di perusahaan yang besar dan moderen dengan kepemilikan yang tersebar (dispersed), manajemen eksekutif mengambil alih kendali dan menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingannya sendiri -dengan mengorbankan kepentingan pemilik.
Untuk  memahami kerangka pikir Berle dan Means tersebut atas kita harus memahami situasi bisnis pada tahun-tahun saat The Modern Corporation and Private Property ditulis Era itu ditandai dengan munculnya banyaknya merger beberapa perusahaan besar dan juga tumbuhnya pasar saham. Kita lihat misalnya munculnya US Steel dan International Harvester yang dibentuk dan dikendalikan oleh JP Morgan. Pada era itu pasar saham (New York Stock Exchange I NYSE) makin menjadi andalan untuk mendapatkan modal besar dan publik guna mendanai investasi­investasi besar perusahaan.
Fenomena ini bagi Berle dan Means menjadi semacam perebutan kekuasaan (usurpation) oleh manajer dimana kepentingan para manajer tersebut tidak perlu harus selalu sejalan dengan kepentingan para pemilik. Misalnya, pemilik seringkali lebih suka keuntungan usaha dikembalikan kepada mereka sebagai dividen, sementara manajer lebih suka laba direinvestasi kembáli ke dalam perusahaan dalam bentuk laba ditahan atau – dalam kalimat yang sinis — meningkatkan gaji dan berbagai macam fasilitas (perks) untuk para manajer.
Where the bulk of the profits of enterprise are scheduled to go to owners who are individuals other than those in control, the interests of the latter are as likely as not to be at variance with those of ownership and ...the controlling group is in a position to serve its own interests. Tatkala pemisahan antara share ownership dengan managerial control menjadi semakin lebar, manajemen menjadi sangat rakus dalam mengejar kepentingannya karena tidak ada pengawasan yang efektif terhadap tindakan manajemen. Berle dan Means kuatir bahwa akan muncul "a new form of absolutism" ataupun "economic autocrats".
Berle dan Means berpendapat bahwa tujuan hukum perusa aan (corporate law) adalah untuk menjamin bahwa "all powers granted to a corporation or the management of a corporation, or to any group within the corporation, ... are necessarily and at all times exercisable only for the ratable benefit of all the shareholders"
Dalam praktek proposal Berle dan Means diterapkan setengah hati. Banyak orang justru kembali ke pasar (market) sebagai solusi: kemungkinan take-over dan sistem kompensasi berbasis kinerja lebih banyak diterima sebagai slat untuk mendisiplinkan manajer yang tidak efisien. Beberapa sosiolog seperti Daniel Bell, Ralf Dahrendorf, dan Talcott Parsons justru melihat pemisahan kepemilikan dan pengendalian sebagai hal positif karena membantu penyebaran demokrasi.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Principal-agent problem ( disebut jugs Agency Dilemma). Teori keagenan (agency theory) dibangun  sebagai upaya untuk memahami dan memeb-alin masalah yang muncul manakala ada ketidak-lermasi pada saat melakukan kontrak (perikatan. Kontrak yang dimaksudkan di sini adalah kontrak antara prinsipal (pemberi kerja, misalnya pemegang saham atau pimpinan perusahaan) dengan agen (penerima perintah, misalnya manajemen atau bawahan). Teori keagenan meramal jika agen memiliki keunggulan informasi dibandingkan prinsipal dan kepentingan agen dan prinsipal berbeda, maka akan terjadi principal-agent problem dimana agen akan melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya namun merugikan prinsipal.
Dalam konteks ini agency costs adalah merupakan biaya (transaction cost atau lebih tepat lagi cost of governance) yang terjadi manakala solusi orgatisasi adalah yang dipilih (untuk mendistribusikan barang dan jasa dalam masyarakat. Masalahnya adalah bahwa dalam pemikiran Coase transaction cost terjadi karena biaya birokrasi ataupun decreasing return of entrepreneur function. Dengan kata lain aspek kemungkinan bahwa manajemen bisa sengaja mengeksploitasi keunggulan informasi yang dimilikinya untuk keuntungan mereka sendiri - sebagaimana yang menjadi tesis sentral Teori Keagenan belum dibahas di dalam karya Coase tersebut.
Dengan begitu konteks hubungan prinsipal-agent relevan untuk hubungan antara: pemilik vs manajemen pimpinan  puncak  vs bawahan; kreditur vs manajemen; dan pemerintah vs perusahaan.
Agency Problem:  Adverse Selection vs Moral Hazard.
Ada dua macam bentuk masalah keagenan terdapat dalam Inibungan antara prinsipal dan agen, yaitu (1) pilihan buruk (adverse selectionbisa juga disebut negative selection atau anti-selection) dan (2) bencana moral (moral hazard). Pilihan buruk (adverse selection) terjadi manakala - prinsipal tidak mengetahui mengenai kemampuan agen, dan oleh sebab itu mereka (bisa) terjerumus membuat pilihan yang buruk mengenai agen. Masalah semacam ini bisa terjadi dimana-mana. Misalnya, orang yang ikut asuransi biasanya adalah orang yang kesehatannya kurang baik atau misalnya dalam contoh lainnya: pemilik perusahaan tidak tahu apakah calon manajer yang akan dia pekerjakan betul-betul memiliki keahlian yang dia perlukan.
Employment Contract.
Keagenan adalah bagaimana caranya agar agen bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipalnya. Salah satu  mekanisme yang serin digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menerapkan employment contract" yang didalamnya mengandung sistem kompensasi yang tepat untuk manajemen.
Sebagai contoh, misalnya karena prinsipal tidak bisa mengukur (mengobservasi) jumlah usaha para tenaga salesman dalam memasarkan produk milik prinsipal, maka salesman digaji berdasarkan bonus sesuai dengan hasil penjualan (output) mereka.
Mengapa dalam teori kontrak dikenal berbagai sistem kontrak kompensasi yang secara garis besar dikelompokkan menjadi dua macam kontrak: input-based contract dan output based contract. Selain pengelompokan seperti itu, kontrak bisa pula dikelompokkan menjadi (1) complete contract dan (2) incomplete contract. Kontrak yang lengkap (complete contract) menetapkan segala macam konsekwensi hukum yang mungkin terjadi.
Pembuatan kontrak mempertimbangkan empat prinsip dibawah ini :
1.      The Informativeness Principle (Indikator apapun selama itu bisa menunjukkan upaya yang dikeluarkan oleh agen sebaiknya dimasukkan dalam kontrak kompensasi),
2.      The Incentive-Intensity Principle (Intensitas insentif yang optimal tergantung beberapa faktor: laba inkremental yang dihasilkan dan tiap peningkatan upaya, presisi dalam mengukur aktivitas, toleransi risiko pihak agen, dan sensitivitas agen terhadap insentif),
3.      The Monitoring Intensity Principle (prinsip ini melengkapi prinsip nomer dua dalam arti bahwa intensitas insentif yang optimal jugs terkait dengan monitoring yang optimal), dan
4.      The Equal Compensation Principle (Kegiatan yang dinilai sama oleh prinsipal pada dasamya harus bernilai sama.
Model Dilema Keagenan. Permasalahan keagenan bisa ditunjukkan dengan model(1) berikut di bawah ini. Model (1) tersebut dirancang sesuai dengan alur pikir berikut :
(a)    Agen adalah rasional — dalam arti memiliki informasi yang cukup lengkap dan ingin memaksimalkan fungsi utilitasnya sendiri,
(b)   Principal berusaha memotivasi agen agar mengeluarkan effort yang besar dengan cara memberi reward pada agen sedemikian rupa sehingga tatkala agen memaksimalkan upayanya (agar mendapat reward yang besar) tujuan prinsipal untuk mendapatkan output yang optimal dan agen juga tercapai,
(c)    Reward untuk agen tergantung pada output yang dia hasilkan dan (namun) output tersebut tergantung pada jumlah usaha (effort) yang dia keluarkan (w(.) dalam model (1),
(d)   Agen memiliki "target" (utility reservation) tertentu dalam arti dia hanya mau bekerja jika rewad yang dia terima dan prinsipal paling sedikit adalah sebesar p. Jika dia merasa target (u) tersebut tidak akan tercapai, maka dia akan memutuskan lebih baik tidak bekerja (effort = 0, lihat kendala IC dalam model (1)).
Asumsi-asumsi Teori Keagenan.
Dalam membangun teorinya para teoritisi keagenan secara eksplisit menetapkan 'beberapa asumsi mengenai "the models of man" yang digunakan dalam teori keagenan. Sakingnya dalam masalah asumsi ini beberapa penulis mengajukan pandangan yang berbeda mengenai asumsi yang digunakan dalam Teori keagenan.  Misalnya Peter, Mukherjib, dan Krol 2001) menyatakan ada dua asumsi dalam Keagenan pertama adalah asumsi mengenai masalah oportunisme. Wiliamson (1975) berpendapat bahwa oportunisme adalah sifat suka mengejar keuntungan sendiri dengan memakai akal bulus (Opportunism is perceived as self-interest seeking with guile). Jadi di dalam Teori Keagenan para pelaku ekonomi diduga akan mementingkan dirinya sendiri, menyembunyikan kebenaran, menipu, dan melakukan keaganenan. Itulah mengapa dalam teori Keagenan ada dua solusi penting: monitoring terhadap penlaku agen dan pemalcalaiisentifuntuk memotivasi agen agar mau bertindak "baik". Bagaimana jika sifat-sifat para pelaku ekonomi tidak sesuai dengasi tersebut, seperti misalnya bersifat baik hati. dan bisa dipercaya? Dua solusi dalam Teori keagenan menjadi tidak relevan dan hanya menambah biaya orang.
 Asumsi kedua adalah bahwa agen tidak menyukai risiko (risk-averse agent). Dalam kenyataan beberapa studi di bidang ihnuekonomi memang menemukan fenomena yang sama dengan asumsi tersebut, maksudnya banyak manajer yang risk-aversed.
Penulis lainnya (Miller, 2005) berpendapat ada enam asumsi dalam Teori Keagenan, yaitu: (1) tindakan agen akan mempengaruhi hasil yang didapatkan oleh prinsipal, (2) karena prinsipal tidak bisa melihat tindakan agen, maka prinsipal harus menggunakan outcome sebagai indikasi tindakan agen, (3) preferensi agen tidak sama dengan preferensi prinsipal, (4) prinsipal adalah aktor yang rasional, (5) baik prinsipal maupun agen sama-sama memahami rasionalitas agen, dan (6) prinsipal memiliki bargaing power tatkala menetapkan kontrak dengan agen.
Teori keagenan Vs Transaction cost economic
Berbeda dengan Teori Keagenan yang menekankan pada dampak ketimpangan informasi (information assymetry) antara prinsipal dengan agen yang berakibat pada timbulnya agency costs, teori Biaya Transaksi justru menganggap bahwa antar para pelaku pasar yang sama-sama mengutamakan kepentingannya sendiri (self-interest) tersebut ada keseimbangan informasi (information symmetry). Teori Transaksi mencoba menjelaskan pembahasan atas faktor-­faktor yang menentukan pilihan antara market dengan hierarchy yang biaya transaksinya terendah.
Transaksi biava-biaya yang terjadi berkaitan dengan penciptaan clan distribusi barang jasa hanya ada dua, yaitu biaya produksj dan biaya transaksi. Biaya transaksi tersebut tergantung pada apakah pilihannya adalah mekanisme pasar ataukah hierarchy.
Biaya tersebut ada tiga macam, yaitu (1) biaya pencarian informasi (search and information costs), (2) biaya tawar-menawar (bargaining and decision costs), dan (3) biaya penegakan kebijakan (policing and enforcement costs). Jika hierarchy (atau perusahaan) dipilih maka biaya transaksi yang terjadi akan terdiri dan biaya koordinasi (misalnya biaya pengiriman informasi dan komunikasi).
Begitu juga mengenai asumasi the models of man dimana Teori, Keagenan menganggap bahwa agen fully rational, mentara dalam Teori Biaya Transaksi manajer dianggap mengalami rasionalitas yang terbelenggu (bounded rationality).
Kendati perbedaan-perbedaan tersebut, kedua teori memiliki beberapa kesamaan. Pertama, keduanya berasumsi bahwa para pelaku ekonomi adalah mengejar kepentingannya sendiri (self-interest) dan juga opportunistik.
 Teori Keagenan Vs Teori Pengelolaan (Stewardship Theory)
Teory Keagenan adalah aktor yang mengejar kepentingannyai da selalu berusaha memaksimalkan keuntungan pribadinya. Itulah sebabnya terra sentralj,gorlKewan adalah konflik kepentingan antara pemegang saham dan Manajer.
Sebaliknya model of man dalam Teori Pengelolaan adalah aktor yang memiliki motivasi instrinsik untuk maju.
Teori  Keagenan Vs  Teori Kontinjensi struktural
Teori Keagenan. Di dalam Teori Keagenan solusi dengan struktur organik yang sifatnya banyak memberi kebebasan kepada agen (manajer) akan selalu tidak tepat karena akan memberi peluang agen melakukan shirking dan membuat kegiatan monitoring ataupun pemberian sanksi kepada agen menjadi sulit. Kondisi ketidak­pastian adalah sesuatu yang disayangkan (sial). Apapun bentuk pengendalian (hierarchical control) yang digunakan (organik vs makanistis ataupun personal vs impersonal) tetap saja merupakan pengendalian prinsipal terhadap agen.

Kritik Terhadap Teori Keagenan
Teori Keagenan telah dikritik oleh teoritisi dari berbagai bidang. Misalnya, Watt dan Zimmerman (1994) menyatakan bahwa Teori Keagenan melupakan peranan efisiensi pasar dalam mendisiplinkan para manajer. Menurut mereka jika pasar dipertimbangkan maka yang menanggung beban agency cost adalah para agen (manajer) itu sendiri dan bukannya pemegang saham. Pemegang saham yang bisa dengan mudah mendiversifikasi kepemilikan sahamnya adalah cenderungprice-protected. Para manajer yang kuatir akan didepak dari perusahaan punya kepentingan untuk memberikan sinyal ke pasar (cattn: pasar modal dan labor market) bahwa mereka adalah manajer yang baik.
Teori Keagenan juga dikritik karena dianggap terlalu sempit (Eisenhrdt, 1989 dan Perrow, 1986) karena hanya membahas hubungan antara principal dan agen, lebih-lebih teori ini melihat solusi maksimal hanya dari sudut prinsipal.
Dengan hanya melihat dari sisi prinsipan- dan bukannya agen-- maka Teori Keagenan secara ingeren mempertahankan status quo, yaitu supremasi hak milik (property right) pemegang saham atas hak karyawan (Perrow, 1986 dan Donaldson, 2000).
Pelanggaran  asumsi model of man
Dalam eksperimen tersebut tujuan prinsipal adalah meminimalkan moral hazard dengan menggunakan sistem bonus berbasis outcome untuk memotiyasi agen agar melakukan upaya (effort) yang besar.



Daftar pustaka
1.      Gudono ,2009, Teori Organisasi