Sabtu, 28 Januari 2012

TEORI INSTITUSIONAL (INSTITUTIONALISM)

TEORI INSTITUSIONAL (INSTITUTIONALISM)

Ide pokok teori institusional adalah bahwa organisasi dibentuk oleh lingkungan  institusional yang mengitarinya. Pengamatan terhadap organisasi  harus dilihat sebagai totalitas simbol, bahasa, ataupun ritual-ritual yang melingkupinya. Oleh sebab itu institusionalisme menolak anggapan  bahwa organisasi  dan kontek institusionalnya  yang lebih besar bisa dipahami dengan melakukan agregasi  atas pengamatan terhadap perilaku individu  (skelley, 2000) Skelley mengatakan bahwa bagi  seorang institusionalis  keseluruhan (the whole) adalah lebih besar dari pada jumlah individu(human parts).
Karena perbedaan mindset  dalam melihat organisasi ada yang mengatakan bahwa institusionalisme bukan sebuah teori, juga bukan sebuah disiplin ilmu walaupun didalamnya banyak disiplin ilmu seperti ekonomi, sosiologi , ilmu pokitik. Lalu apa sebenarnya institusionalisme itu? Scott (2001) berpendapat bahwa institusionalisme adalah madzab (shcool of thought), namun pakar lain mengatakan  institusionalisme adalah pendekatan  umum(general approach)  atau cara memahami masalah (perspective for understanding) (March dan Olsen , 2005. Lincoln 1985 berpendapat bahwa institusional adalh sebuah paradigma(world  view-cara pandang  melihat realita). Terutama  paradigma institusionalisme yang menolak paham rasionalitas dan efisiensi dalam periloaku sosial. Para teoritis  institusional menganggap bahwa perilaku dalam kontek sosial dapat dipahami melalui pemahaman atas institusi. Sayangnya secara konseptual institusipun dijelaskan dengan uraian yang berbeda-beda. Misalnya Gidden dalam Scott 2001 mengartikan institusi  sebagai struktur  sosial  multidimensi yang dibangun dari element yang bersifat simbolis , aktivitas sosial,dan materi sumber daya.
Sementara Steinmo mengartikan institusi (The New Instituttionalism)  semata-mata sebagai aturan.maka yang disebut institusi meliputi , misalnya : angkatan bersenjata, kantor kecamatan, keompok gang, pasar perusahaan, dan masyarakat sebuah kampung. Jelas disini bahwa konsep institusi  sangat majemuk dan luas.
Sejarah Institusionalisme
Sejak ribuan tahun yang lalu para filosof yunani telah menyadari bahwa institusi yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Abad 19 an Max weber mencoba mengkaji birokrasi  dan institusi secara sistematis . Madzab institusionalis AS berkembang sejak tahun 1880an dipengaruhi oleh madzab institusianlis Jerman dan pemikiran –pemikiran Thorten Zveblen (1899). Dalam perkembangannya karena pertentangan internal para institusional tentang metodologi, khususnya  antara Richard T. Ely Vs Simon Newcomb, menyebabkan pengaruh institusionalis memudar dikalangan  akademimisi AS.Semakin kuatnya pengaruh kelompok marginalis dalam kajian akademik di banyak perguruan tinggi besar di AS seperti Yale, havard dan Chicago membuat pengaruh institusionalis semaki9n menurun.. Pada tahun 1920an tinggal beberapa perguruan tinggi  seperti Universy of Colombia (dibawah Wisley C Mitchell) dan Wisncosin (dibawah John Commons)dimana pengaruh para institusioanalis masih dirasakan.
Selama periode tersebut para institusianalis boleh dikatakan mundur dari konfrontasi teori, khususnya dengan kelompok ekonami neoklasik. Dan memusatkan diri dalam kajian pengukuran empiris tentang siklus bisnis.  Salah satu keberhasilan yang menonjol adalah ketika Wishley C Mitchell berhasil mendirikan The National  Bureau of Economic Reseach (NBER). Situasi tersebut pada era tahun 1980an mulai merubah  dengan kemunculan kelompok ilmuwan  New Institutionalism ( sering disebut Neo Institutionalism). New Institutionalism ini memutar  balik pendekatan  para old institutionalist , misalnya untuk bidang ekonomi. Dari semula  menggunakan pendekatan sejarah serta perhatian pada institusi untuk  mengkaji perilaku ekonomi  dan tatanan sosial menggnakan  pendekatan ekonomi neoklasik untuk menganalisis sejarah hubungan sosial dan pembentukan institusi. Dibidang ekonomi tokoh-tokoh institusionalis modern antara lain Robert Heilbroner dan John kenneth Galbraith. Salah satu university dimana pendekatan institusional sangat berpengaruh adalah Washington University di Saint Louis (AS) dengan tokohnya Douglass North, pada tahun 199993 memenangkan  Hadiah nobel untuk sumbangan pemikiran New Institutionalism. Dibidang sosiologi beberapa tokoh seperti Paul Di Maggio dan Walter Powell memberikan sumbangan pemikiran dengan melakukan pengkajian ualang atas pemikiran Weber.
Saat ini banyak penelitian Institusionalisme baru mengkaji pengaruh besar institusi terhadap perilaku manusia  melalui aturan dan norma yang dibangun oleh institusi. Berkaitan dengan pengaruhindividu terhadap  perilaku  manusia, ada dua anggapan  yaitu : pertama menyebabkan individu berusaha  memaksimalkan manfaat atura dalam institusi  yang kedua  perilaku sekedar  menjalankan tugas  sesuai aturan. Institusionalism memperkaya dengan menambahkan aspek kognitif , yaitu bahwa individu dalam  institusi berperilaku tertentu bukan  karena takut   pada hukuman atau karena sudah menjadi  kewajiban (duty), melainkan karena konsepsi individu tersebut mengenai norma-norma  soaial dan tatanan nilai yang ada. Dalam kenyataan institusi baru itu terpecah dalam berbagai aliran.
Ciri Khusu Paradigma Institusionalisme
Ciri pembeda paradigma institusionalise adalah dalam melihat hakekat organisasi. Ide mereka adalah organisasi lebih merupakan sistem nsosial yang bentuknya dipengaruhi oleh sistem simbolis, budaya dan aspek sosial yang lebihluas dimana organisasi tersebut berada.Scott (1987) mengatakan bahwa  pandangan konstitusional dan instrumentalitas adalah saling melengkapi(komplementer).Kendati demikian  kajian yang dilakukan para institusioanalis menyatakan bahwa  struktur organisasional seharusnya bukan untuk dipahami  sebagai adaptasi rasional terhadap faktor-faktor kontijensi dialam modus teknikal instrumentalis, tapi dengan merujuk pada norma, kewajiban legitimasi, mitos, kepercayaan  dan faktor –faktor teknikal instrumentalitas (Donaldson ,2000).
Tentu saja normal, mitos , kepercayaan dan faktor budaya lainnya bisa saja konsisten ataupun tidak konsisten dengan faktor teknikal instrumentalitas. Yang terpenting tidak ada pemikiran a priori  bahwa kedua macam pemikiran tersebut harus konsisten atau tidak konsisten satu sama lainnya. Namun karena independensi pemikira tersebut, teori-teori institusional justru sering menjadi  teori tandingan dari teori kontijensi struktural.Kajian empiris para institusionalis , terutama pendukung teori kontijensi dengan menggambarkan organisasi sebagi hal yangirrasional Hal  ini tidak berari bahwa teori institusional memiliki penjelasan yang sama dengan teori non fungsionalis lainnya. Kenyataannya menunjukan bahwa antara pendekatan institusionalis dengan pendekatan Marxis sering berseberangan.
Analisis institusionalisme cenderung melihat parameter sosial (Societal parameters). Para Institusionalis seperti DiMaggio dan Powell (1983) yang berteori bahwa  organisasi terbentuk oleh kekuatan –kekuatan diluar dirinya melalui  proses peniruan (mimikri) dan ketaatan (compliance).  Teori DiMaggio dan Powell tersebut adalah contoh konsep institusional isomorphism yang terdapat  pada paradigma institusional yang didalamnya berisi macam0-macam teori dan konsep yang satu dan lainnya bisa berbeda.
Macam-macam Madzab Institusionalisme Baru.
Aliran –aliran tersebut meliputi :
institusionalism normative, rational choice institusionalism, historical institusionalism, constructivis institusionalism,institusionalis economic, radical institusionalism.Empat aliran pertama menonjol di bidangsosiologi dan politik,aliran kelima merupakan cabang institusionalisme di bidang ekonomi, aliran keenam  memiliki pengaruh dibidang sosiologi maupun ekonomi
Institusionalism normative
Merupakan asal usul institusionalisme dibidang sosiologi, oleh karena itu sering disebut juga sociological institusionalism. Istilah normatif berasal dari  sudut pandang peneliti yang menganggap  ada norma  atau standar perilaku (logic of appripriateness) yang menentukan kewajaran bertindak para aktor dalam institusi. Para aktor tidak bisa seenaknya bertindak memaksimalkan utility function dia, atau berperilaku kalkulatif seperti pandangan aliran pilihan rasional(rattional choice theory) karena para aktor tersebut terikat tatanan nilai yang ada  yang menentukan apakah tindakan para aktor tersebut bisa diterima (acceptable)didalam lingkup institusi tersebut. Institusionalisme normatif menekankan pada konteks budaya dimana organisasi menjalankan fungsinya serta tata nilai yang memberi inspirasi para aktor.
Institusionalism normative menggambarkan organisasi sebagai sebagai system of belief. Para aktor lebih  berfungsi sebagai anggota asosiasi profesi atau corp daripada mahluk kalkulatif dan selalu memaskimalkan kepuasan pribadinya. Para individu terikat pada  oleh nilai-nilai umum dan akan menentukan tingkat kecenderungan mereka  untuk berubah tetapi juga kapasitas organisasi untuk berproduksi.
Rational choice institusionalism
Dalam Rational choice institusionalism
 Ada dua sudut pandang yang lazim dianut dalam melihat institusi. Yang pertamamelihat institusi sebagai kendala yang bersifat eksogenus, yaitu  institusi merupakan kumpulan aturan yang mengatur perilaku individu didalam organisasi dan masing –masing individu tidak memiliki daya untuk merubahnya.
Sudut pandang kedua melihat aturan dalam  institusi diciptakan sendiri(bisa dirubah-rubah) oleh para pemain didalamnya.dalam sudut pandang ini institusi merupakan cara ekuilibirium dalam melakukan sesuatu.
Untuk memahami institusi dengan baik kita harus memahami interaksi antar individu, dimana individu bersifat kalkulatif  dan berhadapan dengan game teory. Arti kalkulatif yaitupilihan tindakan yang dilakukan individu aktor adalah dalam rangka mengoptimalkan kepuasan individu tersebut.Aliran Institusionalisme Keputusan Rasional berusaha menggabungkan metode berpikir dalam paham individualisme dengan institusional.Fokus riset  dalam aliran ini adalah bagaimana merancang institusi  sebagai instrumen untuk membatasi efek negatif perilaku individu yang cenderung memaksimalkan kepuasan pribadinya.

Historical institusionalism
Aliran ini mengakui pentingnya sejarah perkembangan institusi.Jalur yang dipilih (path dependencey) pada tahap awal perkembangan institusi memainkan peranan penting pada kehidupan kemudian. Institusi dianggap memiliki agenda inhern berdasarkan pola perkembangan yang baik yang bersifat formal.; Suatu jalur cenderung stabil walaupun bisa berubah jika terjadi critical juncture.
 Aliran historical dan rasional sebenarnya ada aspek yang overlap. Misalnya keduanya sama-sama mengakui pentingnya institusi untuk politik karena institusi mengatur perilaku politik., yang agak mengejutkan bahwa perbedaan keduanya apakah manusia itu rasional atau tidak.
Perbedaan pokok antara keduanya misalnya dalam ilmu politik adalah bahwa aliran historis lebih tertarik mengamati dan menjelaskan dampak politik yang riil dan specifik.
Tujuan institusionalisme Pilihan rasional berbeda, menurut Steinmo (2001) tujuan pendukung aliran ini mememukan hukum tentang perilaku politik ( The Law of Political Behavior) . Ilmuwan di aliran tersebut yakin bahwa jika kita bisa menyusun model perilaku politik dan selanjutnya bisa meramalkan hasil (outcome) perilaku politis. Perbedaan tersebut juga dalam metodologi mereka. Institusionalisme historis menerapkan metodologi induktif , sedangkan  institusionalis Pilihan rasional menerapkan metode deduktif, institusionalisme Pilihan rasional menerapkan logika game pada peristiwa sejarah, seblliknya institusionalis historis berusaha menjawab tentang siapa yang menang dan yang kalah dan mengapa. (Steinmo,2001)

Constructivis institusionalism
Kelahiran Constructivis institusionalism   didasari  oleh keinginan u tuk memahami dan menjelaskan institusional equilibirium-sama halnya dengan Rational choice institusionalism namun untuk alasan yang berbeda yang mengandalkan institusional equilibirium. Asal usul Constructivis institusionalism bisa ditelusuri lewat institusional historis, khususnya dari para Constructivis institusionalism mengenai kelemahan metodologi institutional historis yang terlalu menekankan pada institusional genesis dalam melihat perubahan institusional maupun karena institutional historis dianggap sebagai kombinasi  pendekatan kalkulus Rational choice institusionalism dengan  social   institusionalism. Karena kedekatan tersebut apakah Constructivis institusionalism varian historical institusionalism?
To Constuc dalam bahasa latin berarti mengatur atau membentuk(to arrange or give structure). Proses pembentukan terus menerusb adalah konsep pokok Constructivism. Beberapa filosof  pendukung Constructivism antara lain : Lau Tsu (6 abad SM),Budha (tahun 560-477 SM), Heraklitus (tahun 540-475 SM), Immanuel Kant(1724-1804) dan Hans Vaihinger (1852-1933) . Tahun 1876 Vaihinger mengatakan bahwa tujuan utama pikiran kita bukanlah untuk menggambarkan realita tetapi untuk memberi navigasi dalam kehidupan nyata.Lima tema dasar dalam penyebaran Constructivism Yaitu :1)active agency, 2)Order, 3)Self, 4) social symbolic relatedness,5)lifespan development.
Constructivism merasuki banyak bidang, dan yang paling menonjol adalah bidang ilmu sosiaL (Social Constructivism) yang dipelopori oleh Lev Vegotsky yang menyatakan bahwa bahasa dan skema konseptual yang ditransfer melalui bahasa merupakan fenomena sosial. Oleh sebab itu struktur kognitif manusia disusun lewat mekanisme sosial. Bidang lain yang dirasuki adalah institusionalisme menjadi (Constructivist intitutionalist). Perubahan institutionalism terjadi pada perubahan hubungan antara aktor dengan kontek dimana mereka berada: lingkungan institutional, institutionalized subject, dan institutional, architect.  Perubahan institusinal dipahami dalam konteks strategik.
Institusionalis economic
Institusionalis economic memusatkan kajiannya untuk memahami peranan institusi buatan manusia dalam mempengaruhi perilaku ekonomi.. Aliran ini sekarang berkembang menjadi new institutional economic yang memusatkan  perhatiannya mempelajari peranan institusi  untuk mengurangi transaction cost.,tokoh –tokoh ini antara lain Thorstein Veblen, John R Commons, Adolf Berle. Dan tokoh barunya Douglass North, Gunnar Myrdal, mereka adalah pemenang Nobel bidang ekonomi.
John R Commons dalam artikelnya Institutional Economic (1931) menyatakan bahwa ekonomi adalah jejaring hubungan antar manusia yang memiliki kepentingan , yang didalamnya ada monopoli, perusahan besar, perselisihan buruh, dan fluktuasi siklus bisnis.
Menurut Douglass Institutional Economic berbeda dengaan teori ekonomi neo klasik dalam beberapa hal. Misalnya : Institutional Economic mempertahankan asumsi dasar mengenai kelangkaan (scarcity) dan kompetisi, Institutional Economic telah melepaskan asumsi instrumental rationality. Karena menganut instrumental rationality, maka teori ekonomi neo klasik menganggap bahwa institusi, ide, ideologi tidak diperlukan (tidak berpengaruh) dan pasar yang efisien menjadi ciri pokok kegiatan ekonomi.Dalam kenyataan manusia memiliki kemampuan terbatas dalam memproses informasi. Seringkali informasi yang dimiliki tidak lengkap. Oleh karena itu langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memodifikasi  asumsi instrumental rationality, Norht mengatakan bahwa pasar yang efisian diasumsikan jika biaya transaksi adalah nol, jika tidak nol maka institusi menjadi faktor penting, Institusi berguna untuk menurunkan biaya transaksi.
Untukmelihat perbedaancara pandang  ekonomi  neo klasik dan ekonomi institusionali kita bisa melihat dari solusi untuk kasus, mengapa rakyat miskin tetap saja miskin? Dibawah ini
1)Pandangan Neoklasik Rumus Y=C+S(agregat output sama dengan konsumsi C+S), maka jelas orang miskin(Y kecil) tidak bisa menabung(S kecil) karena outputnya habis dimakan(C), itulah sebabnya mereka miskin terus, karena S-nya rendah, padahal S penting untuk meningkatkan Y. Solusi : mereka harus memperkecil C agar S meningkat, peningkatan S akan memperbesar Y
2) Pandangan institusionalis: ketika seseorang menjadi miskin pintu (institusi) bank dan macam-macam lembaga modal tertutup untuknya, karena lembaga tersebut menuntut agunan dll. Solusi : pemerintah memaksa  bank agar orang miskin pinjam tanpa agunan. Bantuan modal dan kesehatan juga diberikan pada simiskin, sebelum dipajaki.
Radical institusionalism
Radical institusionalism (= Marxisme)banyak mengkritisi pandangan neoklasik, keduanya menggunakan pendekatan dialektika dan sama-sama mendukung transformasi masyarakat secara radikal. Tetapi tidak didasarkan pada teori Nilai tambah buruh.(the Labour theory of values), melainkan lebih melandaskan semata-mata pada ketidakpercayaan pada rasionalistas instrumentalitas organisasi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Sekilas seperti sama dengan pendekatan Constructivis institusionalism  tetapi  ada perbedaan  nyata. Constructivis institusionalism melihat aspek kognitif sebagai faktor yang menentukan pemahaman  tentang in stitusi, Radical institusionalism memusatkan pada aspek non kognitif, bahkan Radical institusionalism lebih tegas dalam memilih objek amatan ( petani, buruhdan masyarakat)ataupun kegagalan sistem pasar.
Untuk memahami aliran ini secara utuh harus membaca tulisan Veblen, DUGGER, Brunsson.  Veblen dalam tulisannya berjudul  The Theory of the Leasure Class (1899)berpendapat bahwa hidup masyarakat jaman sekarang sebetulnya warisan kebiasaan jaman barbar. Jaman barbar kelompok masyarakat terbelah dua : 1) Penguasa yang biasanya memonopoli pekerjaan sebagai tentara(warrior) yang hidup nyaman karena bisa menikmati banyak previlese( the leassure class). Dan 2) rakyat atau petani atau pedagang( kelas inferior) Veblem berpendapat bahwa the leassure class akan selalu berusaha memaksa langsung atau tidak langsung kelompok inferior untuk mempertahankan status dan menikmati previlese.Menurut Veblem masyarakat modern tidak berubah dari pola pengelompokan semacam ini.Pola konsumsi berlebih(=pemborosan)adalah manifestasi  masyarakart modern  untuk menunjukkan perbedaan kelas. Seperti jaman barbar, primitif jaman dulu. Veblen tidak percaya pada pandangan neoklASIK MANUSIA ADALAH RASIONAL, BAGI Veblem manusia adalah irrasional karena mereka sekedar mengejar status sosial tanpa memperhatikan kebahagiaan mereka. Misalnya orang membeli merek mahal untuk melakukan proses emulsi (peniruan) kelas sekedar bisa dilihat memiliki status sosial yang berbeda.
Tekanan Irrasional juga tampak jelas dalam karya Brunsson dalam bukunya The Irrational Organization(1985) Brunsson menentang sudut pandang instrumental atas organisasi. Menurut Brunsson irrational dalam pembuatan keputusa  serta pengaruh  ideologi organisasi adalah ciri pokok kehidupan organisasi. Model rasional dala praktek tidak dapat digunakan karena pembuat keputusan menerima informasi yang bias. Dan tidak melakukan pembobotaqn secara akurat atas fakta yang diketahui. Dari pengamatan karya Veblem , Brunsson dan Radical institusionalism ada tujuh konsep pokok  yaitu : 1)ekonomi adalah proses bukan ekuilibirium, 2)irrasional yang tesosialisasi mempengaruhi solidaritas kelompok tertindas, 3)kekuatan, status,  mitos, otoritas dikombinasikan untuk melanggengkan tirani, 4)keadilan adalah penting untuk hidup nyaman, 5)perlunya nilai dan ideologi, 6)penggunaan demokrasi partisipatif, 7)Transformasi radkal lebih diperlukan daripada perubahan inkremental.
Metodologi Riset Institusionalisme
Institusional dikenal karena dua hal : pertama karena pendekatannya yang holistis dalam memahami situasi ataupun masalah kemasyarakat. Kedua serangan  terhadap pandangan mainstream ekonomi neoklasik atau kapitalisme pasar bebas. Mengapa  para penyerang  tidak serta menjadi institusionalis? Karena  b anyak orang yang meragukan keilmiahan pendekatan holistis  ataupun  keilmiahan hasil riset.Dengan kata lain metodologi riset yang diterapkan aliran institusionalis  menyebabkan orang tidak  tertarik masuk ke aliran tersebut.
Dalam Institusionalisme ada variasi metode riset :
1.    Comparative analysis (dasebut juga dengan historical comparative method) yaitu peneliti melakukan analisis sosialogis dalam bentuk perbandingan proses sosial antara dua institusi, Ada dua  pendekatan comparative analisis yaitu: 1) dengan mencari persamaan persamaan yang ada , dan 2)dengan mencari perbedaan-perbedaan yang ada.
2.    Studi kasus dengan pendekatan etnografis, yaiti peneliti memilih sebuah institusi sebagai kasus yan g akan diamati dengan mencermati aspek sosio kultural yan g ada.
3.    Metode riset kuantitatif , yaitu pada umumnya  bertitik tolak pada positivisme yang cenderung meneliti hanya sebagian fenomena, pendekatan ini ditandai dengan pengembangan teori dan hipotesa, modeling dan penggunaan data kuantitatif serta alat statistik

Asumsi dan tiga pilar InstitusiParadigma institusionalm telah berubah dari  pendekatan yang kurang sistematis (dalam old institusionalism) menjadi paradigma yang sistematis  dengan kerangka pikir yang cenderung baku. Menurut March dan Olsen (2005, working paper, Elaborating The New Institutionslism) ada dua asumsi pokok (core assumption). Asumsi pokok pertama adalah institusi menciptakan elemen-elemen keteraturan dan prediktabilitas (daya ramal), berarti institusi adalah sesuatu yang bisa dipelajari secara sistematis. Asumsi kedua adalah bahwa terjemahan (translation) dari struktur ke tindakan politik, dan dari tindakan menjadi perubahan yang institusional ditimbulkan oleh proses yang rutin dan bisa dipahami. Ini berarti ada modus tindakan yang berulang dimana peneliti perlu mempelajari upaya bagaimana dalam situasi itu kestabilan bisa terbentuk.

Scott (1995) memberikan kerangka pikir untuk mempelajari institusi. Menurut Scott ada tiga pilar institusi, yaitu (1) Regulatif, (2) Normatif, dan (3) Kognitif. Perbedaan antara ketiga pilar tersebut dilihat dari sisi dasar ketaatan, mekanisme pengelolaan, logika mengenai perilaku manusia, indikator mengenai pilar institusi tersebut.

Ada saru konsep yang perlu dijelaskan terkait dengan mekanisme yang berlaku pada tiga pilar tersebut, yaitu konsep isomorpisme (proses menjadi sama bentuk; iso = sama, morp = bentuk) DiMaggio dan Powell (1983) mengartikan isomorpisme sebagai “constraining process” yang memaksa satu unit di dalam populasi untuk memiliki wujud atau sifat yang sama dengan unit lain yang menghadapi lingkungan yang sama. Ada dua macam isomorpisme: isomorpisme kompetitif dan isomorpisme konstitusional.

Mekanisme isomorpisme coercive merujuk pada proses dimana organisasi mengadopsi fitur (sifat) tertentu karena paksaan (tekanan) dari negara, organisasi lain, atau masyarakat. Bentuk tekanan misalnya: regulasi atau kontrak. Paksaan yang muncul tidak selalu formal dan paksaan yang dilakukan bisa menimbulkan ketaatan yang sesungguhnya atau yang semu (sekedar supaya kelihatan patuh).

Mekanisme isomorpisme normatif berkaitan dengan paksaan untuk menjadi sama yang muncul dari profesi. Misalnya, kelompok profesi mendefinisikan profesi mereka secara kognitif dan memberikan legitimasi dan otonomi profesi mereka. Contohnya adalah training dan sertifikasi untuk para anggota profesi.

Mekanisme isomorpisme mimetic terjadi karena peniruan. Ini terjadi saat terjadi ketidakpastian mengenai cara memproses sesuatu atau beroperasi. Dalam situasi ini sebuah organisasi mungkin melakukan proses pembelajaran dengan meniru perusahaan lain dengan cara studi banding atau memakai jasa konsultan. Pendekatan ini mirip pandangan fungsionalis, namun DiMaggio dan Powell dalam rangka menjaga jarak dengan kelompo fungsionalis berargumentasi bahwa proses peniruan lebih kepada mencari legitimasi. Artinya, yang dikejar bukan efisiensi teknik tapi aspek ideologi.

Institusionalis telah digunakan dalam berbagai riset untuk menjelaskan fenomena yang sedang diteliti. Misalnya, riset mengenai perubahan sistem informasi akuntansi di sebuah perusahaan listrik di Spanyol (Sevillana) setelah perusahaan tersebut diakuisisi oleh Endesa Group.


Daftar pustaka :
1.      Gudono ,2009, Teori Organisasi

Selasa, 27 Desember 2011

salam perkenalan

Bismillahirrahmanirrahim......

halo teman-teman...... hari ini  hari  yang istimewa bagiku, bukannya aku ulang tahun,tapi ini kali pertama aku bisa membuat blog pribadi, yang sudah selama 2 tahun ini kuimpikan. Ternyata mudah banget membuatnya, nggak sampai 5 menit, wah...wah...hebatkan? Rasa istimewaku ini  tak lepas dari bantuan teman-teman bloger dunia maya ini, maka secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada personal blog ingat Eros .com, yang sudah membantu saya membuat blog ini, dengan sedikit membaca panduan yang ada didalamnya , saya langsung  dapat menciptakan  blog ini, terimakasih . Akhir kata semoga bermanfaat.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TUGAS KULIAH : RESUME  TEORI ORGANISASI



TEORI KEAGENAN (AGENCY THEORY)


Analisis Teori Keagenan (The Agency Theory)  dikembangkan tahun 1970an terutama  tulisan Jensen dan Meckling (1976).
Coase dan Biaya Transaksi
Ekonom biasanya lebih tertarik melihat sistem ekonomi secara makro. Perubahan  cara pandang Baru bergeser setelah tahun 1937 Coase mempertanyakan asumsi-asumsi ekonomi mengenai "The system 'work it-self' . Coase berkata: "The economic theory has suffered in the past from a failure to state clearly its assumptions. Economist in building up a theory have often omitted to examine the foundations on which it was erected."
Kemana arah kritikan Coase tersebut? Coase mengatakan (sekaligus mengkritik pandangan Salter — ekonom pada era itu) bahwa penjelasan mengenai mekanisme harga yang serba otomatis tersebut tidak berlaku di dalam perusahaan (= firm) . Coase melihat ada dua dunia, yaitu dunia di luar perusahaan dimana mekanisme transfer barang dalam kehidupan masyarakat ditentukan  secara otomatis oleh penawaran dan permintaan di pasar dan (2) dunia di dalam perusahaan dimana transfer barang dilakukan melalui koordinasi produksi.
Coase berpendapat ada cost yang terkait dengan penggunaan mekanisme pasar. Coase berkata "The most obvious cost of 'organizing' production through the price mechanism is that of discovering what the relevant price are." Kajian Coase ini kemudian melahirkan teori Transaction cost economic'. Dengan memakai organisasi sebagian besar biaya transaksi dengan mekanisme pasar tersebut bisa dihilangkan (dihemat).
Biaya Keagnenan. Ada beberapa hal menarik dan peinbahasan mengenai tulisan Coase tersebut. Pertama, lingkup pembahasan pada level perusahaan (orgamsasi) semakin mendapat perhatian. Kedua,  pengelolaan distribusi barang dan jasa di dalam masyarakat dengan memakai mekanisme organisasi juga ada biayanya. Coase mengakui bahwa perusahaan tidak lain adalah kumpulan kontrak (perikatan) yang di dalamnya berisi hak master (tuan) untuk memerintah pelayan (buruh atau servant) untuk kapan, dimana, dan berapa banyak bekerja. Dalam konteks ini tidaklah terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa biaya pengawasan master untuk memastikan pelayannya bekerja sesuai kontrak juga merupakan biaya yang harus ditanggung jika memakai mekanisme perusahaan. Dari sini kemudian lahir konsep agency cost. Agency costs juga merupakan salah sate bentuk transaction costs.
Berle dan Means: Masalah Tata kelola (Governance)
Dan uraian sebelumnya bisa juga disimpulkan bahwa biaya keagenan (agency costs) akan rendah (atau bahkan tidak ada) manakala master tidak menggunakan buruh sama sekali untuk mengelola usahanya. Master bisa secara langsung menetapkan sendiri jumlah upaya yang akan dia curahkan untuk memajukan usaha miliknya. Dengan tidak adanya buruh master tidak perlu mengeluaria biaya untuk memonitor. Satu-satunya biaya keagenan yang mungkin muncul dalam situasi ini adalah jika master memaksakan diri mengelola usahanya padahal dia tidak memiliki kemampuan.
Pemisahan antara kepemilikan (ownership) dari piha manajemen yang betul-betul mengendalikan (control) perusahaan dalam arti yang memiliki kekuasaan sehari-hari untuk berinvestasi dan menjalankan operasi perusahaan - seperti itu tentu akan menimbulkan kompleksitas tata kelola dan hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam.
Berle dan Means (1932) tergolong sebagai penulis pertama yang-memberi perhatian atas masalah pemisahan antara pemilik dengan manajemen yang mengelola perusahaan sehari-hari (masalah the separation of ownership and control) khususnya di perusahaan dengan jumlah pemilik yang tersebar luas. Berle dan Means (1932) dalam tulisannya, The Modern Corporation and Private Property', mengajukan tesis "hegemon  manajerial", yaitu bahwa di perusahaan yang besar dan moderen dengan kepemilikan yang tersebar (dispersed), manajemen eksekutif mengambil alih kendali dan menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingannya sendiri -dengan mengorbankan kepentingan pemilik.
Untuk  memahami kerangka pikir Berle dan Means tersebut atas kita harus memahami situasi bisnis pada tahun-tahun saat The Modern Corporation and Private Property ditulis Era itu ditandai dengan munculnya banyaknya merger beberapa perusahaan besar dan juga tumbuhnya pasar saham. Kita lihat misalnya munculnya US Steel dan International Harvester yang dibentuk dan dikendalikan oleh JP Morgan. Pada era itu pasar saham (New York Stock Exchange I NYSE) makin menjadi andalan untuk mendapatkan modal besar dan publik guna mendanai investasi­investasi besar perusahaan.
Fenomena ini bagi Berle dan Means menjadi semacam perebutan kekuasaan (usurpation) oleh manajer dimana kepentingan para manajer tersebut tidak perlu harus selalu sejalan dengan kepentingan para pemilik. Misalnya, pemilik seringkali lebih suka keuntungan usaha dikembalikan kepada mereka sebagai dividen, sementara manajer lebih suka laba direinvestasi kembáli ke dalam perusahaan dalam bentuk laba ditahan atau – dalam kalimat yang sinis — meningkatkan gaji dan berbagai macam fasilitas (perks) untuk para manajer.
Where the bulk of the profits of enterprise are scheduled to go to owners who are individuals other than those in control, the interests of the latter are as likely as not to be at variance with those of ownership and ...the controlling group is in a position to serve its own interests. Tatkala pemisahan antara share ownership dengan managerial control menjadi semakin lebar, manajemen menjadi sangat rakus dalam mengejar kepentingannya karena tidak ada pengawasan yang efektif terhadap tindakan manajemen. Berle dan Means kuatir bahwa akan muncul "a new form of absolutism" ataupun "economic autocrats".
Berle dan Means berpendapat bahwa tujuan hukum perusa aan (corporate law) adalah untuk menjamin bahwa "all powers granted to a corporation or the management of a corporation, or to any group within the corporation, ... are necessarily and at all times exercisable only for the ratable benefit of all the shareholders"
Dalam praktek proposal Berle dan Means diterapkan setengah hati. Banyak orang justru kembali ke pasar (market) sebagai solusi: kemungkinan take-over dan sistem kompensasi berbasis kinerja lebih banyak diterima sebagai slat untuk mendisiplinkan manajer yang tidak efisien. Beberapa sosiolog seperti Daniel Bell, Ralf Dahrendorf, dan Talcott Parsons justru melihat pemisahan kepemilikan dan pengendalian sebagai hal positif karena membantu penyebaran demokrasi.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Principal-agent problem ( disebut jugs Agency Dilemma). Teori keagenan (agency theory) dibangun  sebagai upaya untuk memahami dan memeb-alin masalah yang muncul manakala ada ketidak-lermasi pada saat melakukan kontrak (perikatan. Kontrak yang dimaksudkan di sini adalah kontrak antara prinsipal (pemberi kerja, misalnya pemegang saham atau pimpinan perusahaan) dengan agen (penerima perintah, misalnya manajemen atau bawahan). Teori keagenan meramal jika agen memiliki keunggulan informasi dibandingkan prinsipal dan kepentingan agen dan prinsipal berbeda, maka akan terjadi principal-agent problem dimana agen akan melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya namun merugikan prinsipal.
Dalam konteks ini agency costs adalah merupakan biaya (transaction cost atau lebih tepat lagi cost of governance) yang terjadi manakala solusi orgatisasi adalah yang dipilih (untuk mendistribusikan barang dan jasa dalam masyarakat. Masalahnya adalah bahwa dalam pemikiran Coase transaction cost terjadi karena biaya birokrasi ataupun decreasing return of entrepreneur function. Dengan kata lain aspek kemungkinan bahwa manajemen bisa sengaja mengeksploitasi keunggulan informasi yang dimilikinya untuk keuntungan mereka sendiri - sebagaimana yang menjadi tesis sentral Teori Keagenan belum dibahas di dalam karya Coase tersebut.
Dengan begitu konteks hubungan prinsipal-agent relevan untuk hubungan antara: pemilik vs manajemen pimpinan  puncak  vs bawahan; kreditur vs manajemen; dan pemerintah vs perusahaan.
Agency Problem:  Adverse Selection vs Moral Hazard.
Ada dua macam bentuk masalah keagenan terdapat dalam Inibungan antara prinsipal dan agen, yaitu (1) pilihan buruk (adverse selectionbisa juga disebut negative selection atau anti-selection) dan (2) bencana moral (moral hazard). Pilihan buruk (adverse selection) terjadi manakala - prinsipal tidak mengetahui mengenai kemampuan agen, dan oleh sebab itu mereka (bisa) terjerumus membuat pilihan yang buruk mengenai agen. Masalah semacam ini bisa terjadi dimana-mana. Misalnya, orang yang ikut asuransi biasanya adalah orang yang kesehatannya kurang baik atau misalnya dalam contoh lainnya: pemilik perusahaan tidak tahu apakah calon manajer yang akan dia pekerjakan betul-betul memiliki keahlian yang dia perlukan.
Employment Contract.
Keagenan adalah bagaimana caranya agar agen bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipalnya. Salah satu  mekanisme yang serin digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menerapkan employment contract" yang didalamnya mengandung sistem kompensasi yang tepat untuk manajemen.
Sebagai contoh, misalnya karena prinsipal tidak bisa mengukur (mengobservasi) jumlah usaha para tenaga salesman dalam memasarkan produk milik prinsipal, maka salesman digaji berdasarkan bonus sesuai dengan hasil penjualan (output) mereka.
Mengapa dalam teori kontrak dikenal berbagai sistem kontrak kompensasi yang secara garis besar dikelompokkan menjadi dua macam kontrak: input-based contract dan output based contract. Selain pengelompokan seperti itu, kontrak bisa pula dikelompokkan menjadi (1) complete contract dan (2) incomplete contract. Kontrak yang lengkap (complete contract) menetapkan segala macam konsekwensi hukum yang mungkin terjadi.
Pembuatan kontrak mempertimbangkan empat prinsip dibawah ini :
1.      The Informativeness Principle (Indikator apapun selama itu bisa menunjukkan upaya yang dikeluarkan oleh agen sebaiknya dimasukkan dalam kontrak kompensasi),
2.      The Incentive-Intensity Principle (Intensitas insentif yang optimal tergantung beberapa faktor: laba inkremental yang dihasilkan dan tiap peningkatan upaya, presisi dalam mengukur aktivitas, toleransi risiko pihak agen, dan sensitivitas agen terhadap insentif),
3.      The Monitoring Intensity Principle (prinsip ini melengkapi prinsip nomer dua dalam arti bahwa intensitas insentif yang optimal jugs terkait dengan monitoring yang optimal), dan
4.      The Equal Compensation Principle (Kegiatan yang dinilai sama oleh prinsipal pada dasamya harus bernilai sama.
Model Dilema Keagenan. Permasalahan keagenan bisa ditunjukkan dengan model(1) berikut di bawah ini. Model (1) tersebut dirancang sesuai dengan alur pikir berikut :
(a)    Agen adalah rasional — dalam arti memiliki informasi yang cukup lengkap dan ingin memaksimalkan fungsi utilitasnya sendiri,
(b)   Principal berusaha memotivasi agen agar mengeluarkan effort yang besar dengan cara memberi reward pada agen sedemikian rupa sehingga tatkala agen memaksimalkan upayanya (agar mendapat reward yang besar) tujuan prinsipal untuk mendapatkan output yang optimal dan agen juga tercapai,
(c)    Reward untuk agen tergantung pada output yang dia hasilkan dan (namun) output tersebut tergantung pada jumlah usaha (effort) yang dia keluarkan (w(.) dalam model (1),
(d)   Agen memiliki "target" (utility reservation) tertentu dalam arti dia hanya mau bekerja jika rewad yang dia terima dan prinsipal paling sedikit adalah sebesar p. Jika dia merasa target (u) tersebut tidak akan tercapai, maka dia akan memutuskan lebih baik tidak bekerja (effort = 0, lihat kendala IC dalam model (1)).
Asumsi-asumsi Teori Keagenan.
Dalam membangun teorinya para teoritisi keagenan secara eksplisit menetapkan 'beberapa asumsi mengenai "the models of man" yang digunakan dalam teori keagenan. Sakingnya dalam masalah asumsi ini beberapa penulis mengajukan pandangan yang berbeda mengenai asumsi yang digunakan dalam Teori keagenan.  Misalnya Peter, Mukherjib, dan Krol 2001) menyatakan ada dua asumsi dalam Keagenan pertama adalah asumsi mengenai masalah oportunisme. Wiliamson (1975) berpendapat bahwa oportunisme adalah sifat suka mengejar keuntungan sendiri dengan memakai akal bulus (Opportunism is perceived as self-interest seeking with guile). Jadi di dalam Teori Keagenan para pelaku ekonomi diduga akan mementingkan dirinya sendiri, menyembunyikan kebenaran, menipu, dan melakukan keaganenan. Itulah mengapa dalam teori Keagenan ada dua solusi penting: monitoring terhadap penlaku agen dan pemalcalaiisentifuntuk memotivasi agen agar mau bertindak "baik". Bagaimana jika sifat-sifat para pelaku ekonomi tidak sesuai dengasi tersebut, seperti misalnya bersifat baik hati. dan bisa dipercaya? Dua solusi dalam Teori keagenan menjadi tidak relevan dan hanya menambah biaya orang.
 Asumsi kedua adalah bahwa agen tidak menyukai risiko (risk-averse agent). Dalam kenyataan beberapa studi di bidang ihnuekonomi memang menemukan fenomena yang sama dengan asumsi tersebut, maksudnya banyak manajer yang risk-aversed.
Penulis lainnya (Miller, 2005) berpendapat ada enam asumsi dalam Teori Keagenan, yaitu: (1) tindakan agen akan mempengaruhi hasil yang didapatkan oleh prinsipal, (2) karena prinsipal tidak bisa melihat tindakan agen, maka prinsipal harus menggunakan outcome sebagai indikasi tindakan agen, (3) preferensi agen tidak sama dengan preferensi prinsipal, (4) prinsipal adalah aktor yang rasional, (5) baik prinsipal maupun agen sama-sama memahami rasionalitas agen, dan (6) prinsipal memiliki bargaing power tatkala menetapkan kontrak dengan agen.
Teori keagenan Vs Transaction cost economic
Berbeda dengan Teori Keagenan yang menekankan pada dampak ketimpangan informasi (information assymetry) antara prinsipal dengan agen yang berakibat pada timbulnya agency costs, teori Biaya Transaksi justru menganggap bahwa antar para pelaku pasar yang sama-sama mengutamakan kepentingannya sendiri (self-interest) tersebut ada keseimbangan informasi (information symmetry). Teori Transaksi mencoba menjelaskan pembahasan atas faktor-­faktor yang menentukan pilihan antara market dengan hierarchy yang biaya transaksinya terendah.
Transaksi biava-biaya yang terjadi berkaitan dengan penciptaan clan distribusi barang jasa hanya ada dua, yaitu biaya produksj dan biaya transaksi. Biaya transaksi tersebut tergantung pada apakah pilihannya adalah mekanisme pasar ataukah hierarchy.
Biaya tersebut ada tiga macam, yaitu (1) biaya pencarian informasi (search and information costs), (2) biaya tawar-menawar (bargaining and decision costs), dan (3) biaya penegakan kebijakan (policing and enforcement costs). Jika hierarchy (atau perusahaan) dipilih maka biaya transaksi yang terjadi akan terdiri dan biaya koordinasi (misalnya biaya pengiriman informasi dan komunikasi).
Begitu juga mengenai asumasi the models of man dimana Teori, Keagenan menganggap bahwa agen fully rational, mentara dalam Teori Biaya Transaksi manajer dianggap mengalami rasionalitas yang terbelenggu (bounded rationality).
Kendati perbedaan-perbedaan tersebut, kedua teori memiliki beberapa kesamaan. Pertama, keduanya berasumsi bahwa para pelaku ekonomi adalah mengejar kepentingannya sendiri (self-interest) dan juga opportunistik.
 Teori Keagenan Vs Teori Pengelolaan (Stewardship Theory)
Teory Keagenan adalah aktor yang mengejar kepentingannyai da selalu berusaha memaksimalkan keuntungan pribadinya. Itulah sebabnya terra sentralj,gorlKewan adalah konflik kepentingan antara pemegang saham dan Manajer.
Sebaliknya model of man dalam Teori Pengelolaan adalah aktor yang memiliki motivasi instrinsik untuk maju.
Teori  Keagenan Vs  Teori Kontinjensi struktural
Teori Keagenan. Di dalam Teori Keagenan solusi dengan struktur organik yang sifatnya banyak memberi kebebasan kepada agen (manajer) akan selalu tidak tepat karena akan memberi peluang agen melakukan shirking dan membuat kegiatan monitoring ataupun pemberian sanksi kepada agen menjadi sulit. Kondisi ketidak­pastian adalah sesuatu yang disayangkan (sial). Apapun bentuk pengendalian (hierarchical control) yang digunakan (organik vs makanistis ataupun personal vs impersonal) tetap saja merupakan pengendalian prinsipal terhadap agen.

Kritik Terhadap Teori Keagenan
Teori Keagenan telah dikritik oleh teoritisi dari berbagai bidang. Misalnya, Watt dan Zimmerman (1994) menyatakan bahwa Teori Keagenan melupakan peranan efisiensi pasar dalam mendisiplinkan para manajer. Menurut mereka jika pasar dipertimbangkan maka yang menanggung beban agency cost adalah para agen (manajer) itu sendiri dan bukannya pemegang saham. Pemegang saham yang bisa dengan mudah mendiversifikasi kepemilikan sahamnya adalah cenderungprice-protected. Para manajer yang kuatir akan didepak dari perusahaan punya kepentingan untuk memberikan sinyal ke pasar (cattn: pasar modal dan labor market) bahwa mereka adalah manajer yang baik.
Teori Keagenan juga dikritik karena dianggap terlalu sempit (Eisenhrdt, 1989 dan Perrow, 1986) karena hanya membahas hubungan antara principal dan agen, lebih-lebih teori ini melihat solusi maksimal hanya dari sudut prinsipal.
Dengan hanya melihat dari sisi prinsipan- dan bukannya agen-- maka Teori Keagenan secara ingeren mempertahankan status quo, yaitu supremasi hak milik (property right) pemegang saham atas hak karyawan (Perrow, 1986 dan Donaldson, 2000).
Pelanggaran  asumsi model of man
Dalam eksperimen tersebut tujuan prinsipal adalah meminimalkan moral hazard dengan menggunakan sistem bonus berbasis outcome untuk memotiyasi agen agar melakukan upaya (effort) yang besar.



Daftar pustaka
1.      Gudono ,2009, Teori Organisasi